Daán yahya/Republika

Sang Bapak Sastra Melayu

Hamzah Fansuri berperan besar dalam perkembangan kebudayaan Melayu.

Oleh: Hasanul Rizqa

“Wahai cendekiawan banyak bahasa,

 

sufi penyelam dua samudera,

 

penyair peletak pertama fondasi batu sudut rumah puisi Nusantara,

 

pujangga penggurat alfabet awal di baris pertama sastra kawasan khatulistiwa,

 

dari balik abad 17 itu tampakkah kiranya kami melambaikan rasa rindu kami pada Tuan di sana?”

 

Kutipan di atas merupakan penggalan sebuah sajak karya Taufiq Ismail yang berjudul “Hamzah Fansuri, Setitik Bintang yang Mengirim Cahaya.” Sufi dari abad ke-16 Masehi itu merupakan figur penting dalam sejarah kebudayaan Melayu. Dialah yang merintis tradisi penulisan syair berbahasa Melayu.

 

Ada sedikit sumber sejarah yang menunjukkan detail riwayat hidup Syekh Hamzah Fansuri. Sebuah pendapat menyatakan, tokoh ini berasal dari Barus. Daerah yang kini merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara, itu dahulu menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam.

 

Prof Abdul Hadi WM dalam buku Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (1995), mengatakan, Fansur adalah nama yang dipakai orang-orang Arab untuk menyebut Barus. Dengan demikian, Hamzah Fansuri berarti ‘Hamzah yang berasal dari Fansur (Barus).’

 

Pendapat lainnya menyatakan, Hamzah Fansuri lahir di Syahr Nawi, yakni sebutan bagi Ayuthia, ibu kota Kerajaan Siam yang berdiri pada medio abad ke-14 M. Fatwa ini, antara lain, diusung Prof Syed Naguib al-Attas dalam disertasinya untuk SOAS London, The Mysticism of Hamzah Fansuri (1966).

 

Silsilah Hamzah Fansuri dapat dilihat dari sajaknya sendiri, yang berbunyi: /Hamzah nin asalnya Fansuri/Mendapat wujud di tanah Shahr Nawi. Menurut al-Attas, dengan bait itu sang syekh hendak mengungkapkan bahwa keluarganya memang berasal dari Fansur (Barus), tetapi ia sendiri lahir di Syahr Nawi.

 

Adapun GWJ Drewes membantah argumentasi al-Attas. Orientalis Belanda itu, seperti dikutip Liaw Yock Fang dalam buku Sejarah Kesusastraan Melayu Kelasik (2011), menyatakan, kata-kata “mendapat wujud” dalam penggalan sajak Hamzah Fansuri tersebut bukan berarti bahwa sang penyair lahir di kota tersebut. Perkataan itu hanya mengindikasikan bahwa sang syekh mulai mendapatkan ajaran Wujudiyah tatkala berada di pusat pemerintahan Kerajaan Siam itu.

 

Drewes menerangkan, Syahr Nawi pada paruh kedua abad ke-16 M merupakan sebuah kota dagang yang ramai dikunjungi para kapal-kapal daru India, Persia, Turki, dan Arab. Tidak mengherankan bila banyak ulama dari pelbagai negeri Islam menetap di sana. Hamzah Fansuri pernah menyambangi sejumlah cendekiawan di kota pelabuhan tersebut. Setelah memperoleh sanad, ia pun membawa dan mengembangkan Wujudiyah di Aceh.

 

Bagaimanapun perbedaan pandangan-pandangan yang ada di kalagan akemisi, satu hal yang jamak disetujui adalah ketokohan Syekh Hamzah Fansuri tidak lepas dari konteks Barus. Wilayah itu pada masa keemasan merupakan pelabuhan dagang yang ramai. Banyak saudagar dan musafir dari mancanegara yang berlabuh di sana.

 

Bahkan, sebut Abdul Hadi, reputasi Barus sudah besar pada masa pra-Islam. Dalam naskah sejarah Yunani yang ditulis pada abad kedua sebelum Masehi (SM), catatan Prolomeus menyatakan, rombongan kapal Firaun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus untuk mendapatkan kamper (kapur barus). Komoditas itu lalu diolah untuk menjadi balsem yang amat diperlukan untuk proses pengawetan mayat atau mumi.

 

Hingga abad ke-16 M, Barus masih menjadi salah satu tujuan favorit pedagang dari negeri-negeri jauh. Berbagai komoditas yang bernilai tinggi diperniagakan di sana. Di antaranya adalah benzoin putih, kamper, kayu cendana, gaharu, jahe, kayu manis, timah, dan emas. Situasi kota yang kosmopolitan itu memunculkan masyarakat kelas menengah yang haus ilmu pengetahuan.

 

Dapat dipastikan bahwa di Barus pada masa itu telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan. Di dalamnya, para murid belajar ilmu-ilmu agama dan berupaya menguasai berbagai bahasa asing. Sepanjang hayatnya, Hamzah Fansuri memang tidak hanya fasih berbahasa Melayu, tetapi juga Jawa, Siam, Hindi, Arab, dan Persia.

 

Dua bahasa yang tersebut paling akhir itu, menurut Abdul Hadi, merupakan alat komunikasi yang amat penting untuk diseminasi ilmu-ilmu keislaman pada abad ke- 16 M, utamanya terkait tasawuf. Guru besar Universitas Paramadina itu menduga, di Barus pada masa itu telah berkembang suatu dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya menjadi contoh terbaik ragam bahasa Melayu Barus.

 

Tidak jauh berbeda dengan soal tarikh kelahirannya, masa awal kehidupan Hamzah Fansuri pun terkesan samar-samar. Sebab, sumber-sumber sejarah tentang hal itu amatlah terbatas—untuk tidak menyatakan absen sama sekali. Al-Attas (1966: 32-33) menduga, sang sufi hidup pada suatu masa di Kesultanan Aceh Darussalam sebelum pemerintahan Sultan Alauddin Ri'ayat Syah (1588- 1604) dan wafat sebelum tahun 1607, yakni awal era Sultan Iskandar Muda.

 

Argumennya itu didasarkan pada salah satu sajak karangan Hamzah Fansuri yang berjudul “Ikatan-ikatan 'Ilmu'l-Nisa.” Di dalam karya itu, dikatakan bahwa sang penyair diperintahkan oleh Sultan Alauddin untuk mengarang sebuah sajak atau setidak-tidaknya mendedikasikan sajak itu untuk penguasa Aceh tersebut.

 

Raja Kesultanan Aceh yang ke-10 itu bergelar Shah Alam serta masyhur di tengah rakyat Aceh sebagai Sayyid al-Mukammal. Sajak Hamzah Fansuri mengindikasikan hal tersebut: Shah 'Alam raja yang 'adil/Raja Qutub sempurna kamil/Wali Allah sempurna wasil/Raja 'arif lagi mukammil.

 

Sementara itu, Abdul Hadi WM (1995: 11-12) mengaitkan masa hidup Hamzah Fansuri dengan keadaan sosial-ekonomi Barus. Untuk diketahui, pada permulaan abad ke-17 M pamor kota tersebut mulai merosot. Penyebabnya, Kerajaan Aceh Darussalam di utara terus berkembang dengan ambisi ingin menjadi satu-satunya kedaulatan yang memerintah seluruh Pulau Sumatra.

 

Di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), negeri Barus berhasil ditaklukkan dan menjadi bagian dari kekuasaan Aceh. Alih-alih membangun kembali Barus, raja Aceh tersebut cenderung membiarkannya. Alhasil, Barus kehilangan fungsinya dahulu sebagai pelabuhan dagang yang ramai. Akhirnya, pada awal abad ke-18, bandar itu kian jarang dikunjungi para saudagar dari luar Nusantara.

 

Selain itu, Abdul Hadi juga mengutip keterangan dari François Valentijn, seorang misionaris Belanda yang pernah mengunjungi Barus pada 1706. Di dalam catatannya, sarjana yang mengagumi keindahan bahasa Melayu itu memuji kepiawaian Hamzah Fansuri. Sang syekh dipandangnya sebagai seorang yang sangat terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu. Syair-syair dan puisi-puisi karyanya juga diapresiasi tinggi.

 

Maka dari itu, Abdul Hadi menyimpulkan, ada kesan bahwa pada masa hayatnya, Syekh Hamzah Fansuri masih mengalami periode akhir kegemilangan Kota Barus dan sekaligus menyaksikan ekspansi wilayah Aceh Darussalam.

dok perpusnas

Karya dan dunianya

 

Luasnya kiprah Syekh Hamzah Fansuri membuat Prof Abdul Hadi WM menggelarinya “Bapak Bahasa dan Sastra Melayu” (Cakrawala Budaya Islam, 2016: 193). Sebutan itu boleh jadi tidak berlebihan. Sebab, sufi-penyair itulah sosok yang pertama kali menulis karangan ilmiah dalam bahasa Melayu.

 

Di antara karya-karya Hamzah Fansuri yang telah dijumpai hingga kini adalah tiga risalah tasawuf dan 33 ikat-ikatan syair. Setiap ikatan sastrawi itu terdiri atas 13, 15, atau 19 bait syair. Abdul Hadi menambahkan, naskah yang memuat ikatan-ikatan syair sang syekh paling banyak berasal dari Manuskrip Jakarta (MS Jak.Mal.No.83).

 

Yang disayangkan adalah teks naskah itu sudah mengalami kerusakan sehingga hanya sepertiganya atau 31 ikat-ikatan syair yang dapat dibaca. Selebihnya, yakni sekitar 50 ikat-ikatan, tidak dapat dibaca lagi. Adapun tiga risalah tasawuf Hamzah Fansuri telah ditransliterasikan, yakni Syarab al-'Asyiqin (Minuman Orang-orang Berahi), Asrar al-'Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), dan Al-Muntahi.

 

Sementara itu, pakar sastra Indonesia Prof A Teeuw dalam buku Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994) menggelari Syekh Hamzah Fansuri sebagai “Sang Pemula Puisi Indonesia.” Tentu saja, sebutan “Indonesia” dalam pujian profesor tersebut melampaui definisi dunia politik, yakni negara RI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Bahkan, pujian itu mengisyaratkan dengan jelas: sastra Indonesia (puisi) lahir jauh lebih dahulu dari eksistensi NKRI atau bahkan sebelum masuknya kolonialisme Eropa ke Nusantara.

 

Teeuw hendak mengetengahkan bahwa di dalam sajak-sajak karya Hamzah Fansuri sudah terdapat ciri-ciri kesusastraan modern. Artinya, sang syekh dinilai memelopori suatu gebrakan dalam kancah sastra yang muncul di Kepulauan Indonesia, jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa (Barat) datang, menjajah, dan membawa kebudayaan baru di region ini.

Luasnya kiprah Syekh Hamzah Fansuri membuat Prof Abdul Hadi WM menggelarinya “Bapak Bahasa dan Sastra Melayu.”

Pengaruh Arab-Persia

 

Pengaruh model-model puisi Arab dan Persia amat kental mempengaruhi karya-karya Syekh Hamzah Fansuri. Wabilkhusus, pengaruh dari gaya puitika mistik sufi Andalusia, Ibnu al-'Arabi (1076-1148 M). Karena itu, seorang murid Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, menyebut puisi gubahan gurunya tersebut sebagai ruba'i.

 

Menurut Prof A Teeuw, ruba’i merujuk pada genre puisi Persia yang kanonnya antara lain Rubayyat oleh Umar Khayyam (1048-1131 M). Memang, ada banyak petunjuk yang memperlihatkan besarnya pengaruh sufistik Persia di dalam karya-karya Hamzah Fansuri.

 

Sebut saja, penggunaan tamsil laut yang biasa dipakai Ibnu al-'Arabi atau Jalaluddin Rumi (1207-1273 M) atau tamsil burung yang mengambil dari Fariduddin Attar (1145-1221 M), sang penggubah Mantiq ut-Tayr (Musyawarah Burung).

 

Ada sisi persamaan dan juga perbedaannya. Baik ruba'i Persia maupun syair-syair Hamzah Fansuri terdiri atas empat larik. Bedanya, skema rima ruba'i umumnya adalah a-a-b-a, sedangkan puisi tokoh Melayu ini memakai skema a-a-a-a.

 

Lebih lanjut, Teeuw tidak hanya mendeteksi pengaruh sastra sufi Persia dalam karya-karya Fansuri, melainkan juga unsur-unsur kemodernan. Misalnya, Syair XXIII karya Hamzah Fansuri yang dikutip Drewes. Menurut dia, ada ciri-ciri modern di dalamnya.

 

Pertama, soal individualitas. Puisi Hamzah Fansuri tidak anonim seperti umumnya karya-karya sastra yang muncul dalam konteks Melayu lama. Anonimitas itu biasanya sebagai bentuk upaya pengarang untuk merendahkan diri di hadapan sidang pembaca.

 

Pengarang tidak dianggap sebagai sosok. Pun tidak menganggap dirinya sebagai tokoh, melainkan wakil masyarakat kesastraan. Dengan demikian, ia tidak merasa perlu untuk disebut atau diingat namanya. Sebaliknya, Hamzah Fansuri dengan terang mengemukakan dirinya sebagai sosok pengarang syair-syairnya. Tidak hanya di kolofon (catatan pada akhir teks naskah), tetapi juga dalam kandungan sajak-sajaknya sendiri.

 

Kedua, soal inovasi. Teeuw mengatakan, Hamzah Fansuri tidak berhenti pada mengambil alih model sastra sufi Persia dalam menciptakan syair Melayu. Sang syekh juga menyesuaikan model tadi dengan keistimewaan yang ada dalam bahasa Melayu dan tradisi sastra Melayu. Pada akhirnya, hal itu memunculkan pembaruan di dalam dunia sastra.

 

Ketiga, Hamzah Fansuri dengan piawai menyertakan kata-kata atau pelbagai istilah yang diserapnya dari bahasa asing, utamanya bahasa Arab dan Persia, di dalam karyanya. Dengan begitu, tampak kontribusi besarnya dalam mengadopsi banyak kosakata dari dua bahasa, yang menjadi medium dakwah Islam global, ke dalam khazanah bahasa Melayu.

 

Tidak hanya itu. Drewes menekankan, syair-syair Hamzah Fansuri begitu kaya akan kutipan dari ayat-ayat Alquran. Penyertaan kutipan itu bukan hanya mengedepankan fungsi sastra sebagai medium dakwah, melainkan juga meninggikan nilai estetsi karyanya sendiri. Hal itu pun menunjukkan kecanggihan sang pengarang dalam berbahasa.

 

Sebagai contoh, berikut empat bait dari “Syair XIII”.

 

Huwa 'l-awwalu wa 'l-akhiru akan namanya

 

Wa 'l-zahiru wa 'l-batinu rupanya

 

(QS. 57: 3)

 

Sidang 'arif mendapat katanya

 

Mabuk dan gila barang adanya

 

Wama ramayta dengarkan firman

 

Aku baginda rasul habib al-Mannan

 

Walakinna 'llaha rama tiada insan (QS. 8:17)

 

Nasihat al-'arifin di sini 'iyan

 

Sabda 'Ali yang mahatahu

 

La a'budu rabban lam arahu

 

Wama ra'aytu syay'an, lama dan baharu

 

Illa ra 'aytu 'llaha fihi aku

 

Wa 'llahu khalaqakum dengarkan kata

 

Wama ta'maluna inilah nyata

 

(QS. 37:96)

 

Bikulli sya'in muhitun di mata mata

 

(QS. 41: 54)

 

Kalam al-'asyiqin sedikit pun pada.

Kawasan komplek yang diyakini sebagai makam Syekh Hamzah Fansuri di Desa Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar, Aceh | DOK Republika

Sesudah tiadanya

 

Telah ditegaskan bahwa sedikit sekali bukti-bukti sejarah yang meyakinkan tentang waktu wafatnya Syekh Hamzah Fansuri. Mengikuti pendapat al-Attas (1966), dapatlah kiranya kita memprediksi, bahwa penyair tersebut wafat pada masa awal kekuasaan Iskandar Muda di Aceh. Dalam rentang waktu itu, salah seorang muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani, telah mendapatkan kedudukan terhormat di Istana Aceh di bawah pemerintahan sultan tersebut.

 

Hanya saja, riak-riak politik terjadi. Sesudah Sultan Iskandar Muda jatuh, naiklah Iskandar Thani. Posisi al-Sumatrani digantikan oleh Nururddin al-Raniri. Pada masa inilah, terjadi insiden pembakaran banyak kitab karangan guru-murid: Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani.

 

Sebab, rezim Kesultanan Aceh saat itu melabeli keduanya sebagai penebar kesesatan. Al-Raniri pun mengamini. Bahkan, pengarang kitab Bustanul Salatin itu cenderung merestui persekusi atas karya-karya Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani. Menurut Abdul Hadi, pembakaran itu terjadi lantaran penguasa dan para pendukungnya belum membaca utuh karya-karya Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani, tetapi sudah langsung mengambil kesimpulan.

 

“Jadi, belum lengkap membaca, kemudian mengatakan bahwa tasawuf yang diajarkan di dalam buku murid-murid Hamzah Fansuri itu adalah tasawuf sesat. Kemudian, dia mengeluarkan fatwa agar buku-buku karangan wujudiyah di Aceh itu dibakar,” kata akademisi Universitas Paramadina itu dalam Cakrawala Budaya Islam.

 

Walaupun begitu, legasi Hamzah Fansuri tidak musnah sama sekali. Dan, pengaruh syair-syair serta pemikirannya tetap terasa hingga abad ke-20 M dan sesudahnya. Sebab, syukurlah, ada banyak buku karyanya yang masih selamat.

 

Bahkan, tasawuf wujudiyah berkembang pesat lagi di Aceh pada akhir abad ke-17 M. Tokoh di balik fenomena itu ialah Syekh Abdurrauf Singkil dan murid-muridnya. Kemudian, aliran itu tersebar pula ke Pulau Jawa dan lain-lain.

 

Abdul Hadi WM mengatakan, secara esensial, ajaran tasawuf Hamzah Fansuri tidak berbeda dengan tasawufnya Imam Ghazali. Ajaran sang Hujjatul Islam memang diterima kalangan Ahlussunah waljama’ah, termasuk yang di Tanah Air. “Kalau dari segi doktrin, yang berbeda itu cuma penjelasan tentang etika,” ungkapnya.

dok harakah islamiyah

Telusur ajaran wujudiyah

 

Ketokohan Syekh Hamzah Fansuri berkaitan dengan ajaran wujudiyah. Namun, ada beberapa salah paham yang agaknya mesti diluruskan terlebih dahulu sebelum menghubungkan sang syekh dengan aliran tersebut. Abdul Hadi WM (1995) menjelaskan, jalan tasawuf yang disebarluaskan sufi Melayu tersebut memang dipengaruhi gagasan-gagasan dari Arab dan Persia yang datang ke Nusantara sebelum abad ke-16 M.

 

Figur-figur yang terkemuka dalam menyebarkannya antara lain Bayazid Bisthami, Mansur al-Hallaj, Fariduddin 'Attar, Syekh Junaid al-Baghdadi, Ahmad Ghazali, Ibn 'Arabi, Jalaluddin Rumi, Mahmud Shabistari, dan 'Iraqi. Di antara nama-nama itu, 'Iraqi (wafat 1289) sering dikutip Syekh Hamzah Fansuri untuk menguraikan pemikirannya tentang tasawuf. ‘Iraqi lahir di Kamajan, Persia. Penggubah Lama'at itu pernah berguru pada Sadruddin Qunawi (wafat 1274), yang hidup sezaman dengan Rumi.

 

Menurut Abdul Hadi, Qunawi-lah yang pertama-tama mengemukakan istilah “wahdatul wujud” berdasarkan pada penelaahannya atas karya-karya Ibnu 'Arabi. Istilah itu dipakai untuk menyatakan bahwa keesaan Tuhan tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuan-Nya yang berbagai-bagai di alam fenomena ('alam al-khalq).

 

Tuhan sebagai Zat Mutlak satu-satunya di dalam keesaan-Nya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden (tanzih). Namun, karena Dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian.

 

Untuk memperkuat argumen wahdatul wujud itu, diajukan dua hal yakni di antara asma al-husna adalah Yang Zahir dan Yang Batin. Selain itu, di dalam Alquran (surah Qaf ayat ke-16) juga ditegaskan bahwa “Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.”

 

Dengan demikian, di samping transenden, Tuhan juga imanen (tashbih). Lebih lanjut, asas penapakan Tuhan melalui pengetahuan-Nya, yakni Wujud-Nya, ialah cinta. Oleh karena itu, terang Abdul Hadi, bila kaum wujudiyah berbicara tentang 'isyq maka yang dimaksud adalah Wujud Tuhan, dan wujud-Nya tidak lain adalah sifat-sifat-Nya yang tampak melalui segala pekerjaan-Nya.

 

Kalangan sufi yang sepemahaman dengan ini kerap mendasarkan pandangan, antara lain, pada sebuah hadis qudsi: “Aku perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka aku mencipta dan dengan demikian Aku dikenal.” Untuk memahaminya, dapat diambil contoh pada kalimat basmalah, “Bismillahirrahmaanirrahiim.” Di sana, terdapat dua macam Cinta, yakni Rahman dan Rahim. Keduanya berasal dari akar kata yang sama, rahma.

 

Hanya saja, yang pertama bersifat esensial, sedangkan yang kedua bersifat wajib. Rahman berarti cinta Tuhan berlaku atas segala ciptaan-Nya. Sementara itu, Rahim adalah rahman-Nya yang wajib. Cinta itu mesti dilimpahkan kepada orang-orang tertentu yang mencinta-Nya dengan kesungguhan, yakni mereka yang beriman dan beramal saleh.

dok repro buku

Ajaran Wujudiyah itu tergambar dalam banyak syair Hamzah Fansuri. Abdul Hadi menyebutkan beberapa di antaranya. Semisal, bait berikut ini.

 

“Tuhan kita yang bernama qadim/Pada sekalian makhluk terlalu karim/Tandanya qadir lagi hakim/Menjadikan alam dari al-Rahman al-Rahim Rahman itulah yang bernama Sifat/Tiada bercerai dengan kunhi Zat/Di sana perhimpunan sekalian ibarat/Itulah hakikat yang bernama maklumat.”

 

Wujudiyah yang dikembangkan Hamzah Fansuri bukanlah seperti yang dicetuskan ajaran Martabat Tujuh. Abdul Hadi menekankan, syekh asal Barus itu seperti halnya para wali sanga  di Pulau Jawa pada abad ke-16 M. Katakanlah, Sunan Bonang atau Sunan Kalijaga. Keduanya tidak pernah menjadi penganjur aliran Martabat Tujuh. Aliran itu sendiri merupakan perkembangan selanjutnya dari Wujudiyah yang telah dimasuki pengaruh kebudayaan Hindu di Anak Benua India.

 

Pengagas pertama Martabat Tujuh adalah Mohamad Fadlullah al-Burhanpuri (wafat 1620). Ketika ajarannya diasaskan, berbagai gerakan sinkretis berkembang di India, terutama pada masa Dinasti Mughal pemerintahan Sultan Akbar dan Dara Sukoh. Maka dari itu, di Nusantara para penganut aliran Martabat Tujuh kerap mempraktikkan hal yang campur-baur dengan tradisi India. Misalnya, praktik yoga dalam mengamalkan zikir kepada Allah.

 

Justru, Hamzah Fansuri sangat kritis terhadap Martabat Tujuh. Hal itu tampak dari catatan seorang laksamana Prancis, Beauleu, yang berkunjung ke Aceh. Beauleu menyebut bahwa Sultan Aceh saat itu berang akan adanya seorang alim yang menegurnya. Saat itu, demikian cerita orang Prancis tersebut, sultan Aceh sedang menyiapkan upacara meditasi dalam menyambut datangnya bulan purnama.

 

Abdul Hadi mengutip pendapat orientalis Braginsky yang memastikan, orang alim yang dimaksud Beauleu adalah Syekh Hamzah Fansuri. Pada masa transisi dari abad ke-16 menuju 17 M, Aceh sedang berada dalam puncak kejayaan. Namun, krisis politik kerap menerpa lingkungan istana sehingga meluputkan penguasa dari ajaran Islam yang benar.

 

Abdul Hadi menukas, pada era itu, tasawuf digemari kalangan elite, tetapi dalam pelaksanaannya kerap bercampur dengan amalan-amalan sinkretis yang tidak sesuai dengan hakikat sufi. Sebut saja, praktik yoga dari tradisi India. Menurut tradisi agama Hindu, dalam amalan itu Tuhan “dibayangkan” sebagai rahasia yang berada di bagian tertentu tubuh manusia, semisal ubun-ubun.

 

Hamzah Fansuri mengkritik sinkretisme demikian. Tengok saja, karyanya semisal Asrar al'Arifin. Di sana, terdapat bait: “Jangan bermaqam di ubun-ubun atau di pucuk hidung atau di antara kening atau di dalam jantung; sekalian itu hijab kepada Dzat-Nya.”

 

Pada intinya, sang sufi menegaskan bahwa jalan tasawuf dicapai hanya melalui meniadakan diri yang rendah, untuk kemudian dapat menyadari Sifat-sifat-Nya. “Ketahui olehmu hai anak dagang/Rupamu itu seperti bayang-bayang/Menafikan diri jangan kau sayang/Supaya dapat kepada Huwa (Dia) kau datang.”

top